I K L A S H

I K L A S H


“Andaikata saya mengetahui ada satu sujud saja yang secara pasti telah diterima oleh Allah, maka saya berangan-angan agar mati sekarang.” Kalimat singkat yang keluar dari lisan sahabat agung Abdullah bin Umar tersebut menunjukkan betapa urgennya kesertaan ikhlash dalam setiap amalan. Dan menjadi tabiat sesuatu yang memiliki nilai urgensi yang tinggi ia pun sulit untuk diwujudkan. Ikhlash memang sulit, tetapi harus.

Ikhlash tidaklah semudah yang digambarkan orang, ‘seperti membuang kotoran, setelah dibuang dia tak meliriknya kembali’. Sungguh ini BUKAN gambaran ikhalsh, bukan pula cirri ikhlas yang benar. Jika kiasan itu diterima, maka orang yang memberikan makanan yang nyaris basi –padahal ada yang baik- dengan suka rela; atau memberikan gombal tak layak pakai –padahal ia punya yang baru dan tidak cuman satu- dengan rela hati akan mendapatkan ganjaran yang tak ternilai. Dan itu tak akan terjadi. Ikhlash tidak sama dengan rela. Banyak yang salah sangka, memang.

Menyimpulkan dari apa-apa yang tertera dalam Al-Quran dan As-Sunnah, Fudhail bin Iyadh berkata, “Ikhlash dalam beramal ditujukan hanya untuk Allah semata.” Maka barangsiapa tidak memiliki pamrih dalam amal shalihnya kecuali kepada Allah, dialah orang yang ikhlash. Jika seseorang tidak beramal kecuali hanya karena Allah maka tak ada beda baginya, apakah dia beribadah dilihat orang ataukah tidak. Celaan dan pujian manusia terhadapnya tidak akan mempengaruhi kualitas amalnya. Karena memang dia beramal bukan karena manusia, tetapi karena Allah.

Kedengarannya sepele, namun sedikit orang yang mengaplikasikannya. Kita lihat saja para salaf yag begitu jeli terhadap persoalan yang bisa mengganjal keikhlasan mereka. Dikisahkan, ada seorang salaf yang selalu menunaikan shalat jamaah di shaf terdepan. Demikian dilakukannya selama bertahun-tahun. Suatu saat ia udzur dan mendapati shaf kedua. Tiba-tiba saja dia merasakan dirinya dihinggapi rasa malu. Malu jika dianggap sebagai orang yang tidak istiqamah. Detik itu pula –ia menyadari bahwa shalat jamaah yang ditunaikannya selama ini masih terkotori oleh riya’. Ia belum benar-benar ikhlash karena Allah. Selain tak boleh beramal karena manusia, kita juga tidak boleh meninggalkan amal karena manusia. Semua yang kita hadirkan, baik mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu haruslah karena Allah. Fudhail bertutur, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, sementara mengerjakannya karena manusia adalah syirik.”

Tidak sebagaimana amalan anggota badan, ketika telah dikerjakan, maka gugurlah kewajiban di saat itu, ikhlash itu harus ada sebelum, ketika, dan setelah beramal. Tidak bisa dibenarkan orang membanggakan amalnya di depan orang lain dengan alasan, “Saya sudah ikhlash kemarin.” Perbuatan ini bisa menggugurkan keikhlasan yang telah dilakukan sebelumnya dan sekurang-kurangnya mengurangi nilainya. Inilah sisi lain yang menunjukkan beratnya ikhlash. Maka penting untuk introspeksi sebelum beramal, kontrol ketika beramal dan evaluasi seetlahnya, untuk siapa dia beramal.

Hasan al Bashri mendoakan orang yang berdiam sejenak ketika tercetus satu keinginan untuk beramal, semoga ia mendapatkan rahmat dari Allah. Berdiam di sini tentunya untuk memastikan apakah amal yang akan dilakukannya itu karena Allah atau karena selainnya. Jika itu karena Allah, maka ia bisa melanjutkannya, dan jika bukan ia pun segera meluruskannya.
Ketika niat telah lurus, waspada di tengah amal menjadi keharusan. Karena betapa banyak orang yang ikhlash di awalnya, namun melenceng di tengah jalan. Mungkin karena tak kuat dengan bujukan dan rayua, atau tak tahan dengan gangguan dan rintangan. Setelah itu, keikhlasannya harus dijaga hingga akhir hayat. Agar amalnya tidak hangus menjadi debu. Ya Allah jadikanlah seluruh amal kami ikhlash karena-Mu.

(Sumber: Majalah Ar-Risalah)

Tidak ada komentar: