Menunggu Lahirnya UUK DIY

Menunggu Lahirnya UUK DIY


Bangaimanakah nasib DIY jika tak memilikiUndang-Undang Keistimewaan (UUK)? Apakah pemerintah pusat memang tidak serius memberikan dukungan terhadap Keistimewaan DIY? Akankah masa depan DIY bias lebih baik dengan dipayungi Undang-Undang Keistimewaan atau tanpa memiliki undang-undang yang khusus?

Demikianlah sejumlah pertanyaan dan pernyataan bernada sinis, pasimistis, namun sekaligus bentuk protes terhadapa sikap pemerintah pusat yang seolah menelantarkan nasib DIY yang hingga kini tidak segera menerbitkan UUK DIY. Bahkan perdebatan tentang UUK DIY, hingga kini tak habis-habis dan seolah tak berujung pangkal, kapan akan berakhir. Kondsi seperti itu, sebenarnya cukup wajar. Sebab status Keistimewaan yang telah disandang DIY sejak negara ini merdeka. Namun ketika waktu berjalan, hingga kini tidak ada kejjelasan, kepastian dan kapan akan lahirnya “Payung Hukum” Keistimewaan “Negara Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadiupaten Pakualaman” yang telah bergabung dalam Negara Republik Indonesia ini. Maka tak heranlah, sejumlah elemen masyarakat DIY, termasuk kalangan kerabat Kraton Yogyakarta pun melakukan “protes” terhadap perlakuan pemerintah pusat terhadapDIY yang “remang-remang” itu. Termasuk Rayi Dalem GBPH H Joyokusuma yang mepertanyakan tidak segera terbitnya UUK DIY.

Bahakan, wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ferry Mursyidan Baldan ketika menghadiri ujian terbuka S3 Akbar Tandjung di UGM beberapa waktu lalu, juga menyatakan keheranannya, mengapa UUK DIY tidak segera lahir. Padahal kini telah ada propinsi yang telah memiliki UUK, seperti DKI Jakarta, Nangroe Aceh Darussalam juga Papua. Ketiga propinsi itu dinilai telah memiliki cirri dan arah yang jelas tentang keistimewaannya. Sedangkan DIY, keistimewaan belum memiliki arah yang jelas

Tak Ditentukan UU
Terlepas mau seperti apa bentuk dan arah UUK DIY, pakar politik sekaligus Dosen Ilmu Pemerintahan dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Purwo Santoso MA menilai, jika eksistensi DIY bukan hanya ditentukan oleh Undang-Undang. Sebab tradisi Istimewa yang sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Jadi dalam keistimewaan DIY yang tepenting bukan Undang-Undangnya, tapi kerangka berpikir, tradisi dan cara kerja yang istimewa. Kesimpulan kunci dari keistimewaan DIY adalah ikatan emosi antara raja dan rakyatnya, bukan undang-undangnya. “Kalau ikatan emosi itu masih sama-sama dipelihara misalnya raja masih bsa menunjukkan langkah-langkah kerakyatannya dan masyarakat tetap guyub secara otomatis keistimewaan DIY akan kuat dengan sendirinya dengan ada atau tidaknya undang-undang “Harmoni antara 2 sosok pemimpin (Sultan dan Paku Alam) selalu bisa kompak dan secara bersama menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Dirinya optimis, keistimewaan DIY tidak akan pernah habis meski tanpa UU. Persoalam menjadi rumit, ketika keistimewaan direduksi menjadi sekedar pemilihan Gubenur. Sayangnya hal itu yang saat ini justru dilebih-lebihkan terlalu jauh. Pasalnya jika dicermati, keistimewaan yang dimiliki DIY, tidak hanya jatah Sultan menjadi Gubenur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubenur. Tapi lebih pada ikatan sosiologis antara pemimpin dengan orang yang dipimpinya.

Pemerintah DKI bisa meloloskan Undang-Undang sebagai daerah khusus karena kekuatan lobi yang dilakukan. Begitu juga dengan Aceh yang bisa memiliki berganing position pada ssat ada GAM. Karena beberapa daerah tersebut memiliki daya paksa seperti daerah yang lain. Hal itu dikarenakan DIY lebih memilih untuk menempuh jalur demokratis bukan jalur paksaan, mau tidak mau harus membayar dalam waktu yang lebih lama.

Anggot Dewan Perwakilan Daerah asal SIY, H. Subardi dan anggota DPRD DIY Heru Wahyu Kismoyo berharap, secara kultural, jika nantinya UUK DIY lahir, hendaknya mampu mempertegas posisi Kraton-Puro Pakualaman sebagai pilar penjaga warisan kebudayaan. Karena itu, sudah sewajarnya, Kraton-Puro Pakualaman harus berani menjauhkan diri dari kepentingan politik dan kekuasaan. Namun harus mampu memposisikan dan berdiri sebagai pusat dan kekuatan pengembangan kebudayaan Jawa. Sehingga tahta Sultan dan Paku Alam sebagai Raja, harus benar-benar bias menjadi artikulasi kepentingan budaya dan kepentingan rakyat. Keberadaan Kraton-Puro Pakualaman harus menjadi hamengku, hamangku dan hamengkoni rakyat.


Sumber : Kedaulatan Rakyat

Tidak ada komentar: