REPEAT BREEDER PADA SAPI

REPEAT BREEDER PADA SAPI


Reproduksi atau perkembangbiakan merupakan bagian dari ilmu faal (fisiologi). Reproduksi secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan individual dan meskipun siklus reproduksi suatu hewan berhenti, hewan tersebut masih dapat bertahan hidup, sebagai contoh hewan yang diambil organ reproduksinya (testes atau ovarium) hewan tersebut tidak mati. Repeat breeder adalah proses pengulangan perkawinan yang dilakukan berulang-ulang 3 sampai 4 kali perkawinan. Meskipun dapat dipahami dengan jelas tentang waktu optimum bagi inseminasi yang berhubungan dengan ovulasi dan tentang jumlah spermatozoa yang berdaya hidup yang perlu ditumpahkan dalam bagian tertentu dari saluran betina, tidak ada jaminan bahwa kebuntingan akan selalu terjadi setelah dilakukan perkawinan ataupun inseminasi pada waktu yang tepat. Dalam sistem produksi ternak dengan betina bebas berkumpul bersama jantan dewasa dan dengan imbangan jantan dan betina yang tepat guna, kegagalan konsepsi sering dapat diatasi dengan perkawinan kembali pada periode birahi berikutnya.

Kegagalan pengulangan perkawinan ini dapat disebabkan oleh masalah penyimpangan anatomi dari saluran kelamin betina, termasuk yang berkaitan dengan freemartinisme. Fase luteal yang singkat (sekresi progesteron yang tidak memadai) atau sebaliknya korpus luteum yang tetap utuh. Perkembangan ovarium berkista yang mengandung kista folikel atau luteum. Birahi yang tidak disertai ovulasi atau birahi diam (yaitu ovulasi tanpa tanda birahi) serta pengaruh merusak dari estrogen tanaman, kontaminasi ergot dan yang lainnya. (Biggers dan McFeely,1966; Breeuwsma, 1970).

Menurut (Edy Purwanto, 2006) Adanya kasus kawin berulang ( Repeat breeder) disebabkan oleh faktor kesalahan pengelolaan reproduksi karena kurang telitinya peternak dalam mendeteksi birahi, keterlambatan pelaporan mengenai adanya gejala birahi dan faktor kematian embrio dini yang disebabkan oleh sanitasi kandang yang kurang bersih sehingga menimbulkan penyakit pada ternak. Serta menurut penelitian yang telah dilakukan kasus Repeat breeder juga bisa terjadi karena peternak tidak melakukan pencatatan (recording) dimana pencatan ini sangat penting memberi informasi data untuk penilaian hasil inseminasi dan efisiensi reproduksi, memperkirakan waktu kelahiran anak yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran dan memberi informasi tentang identitas induk dan ayah dari anak yang lahir serta dapat memperkirakan kapan waktu sapi akan dikawinkan.

Selain itu juga pada kasus Repeat breeder juga berpengaruh pada program inseminasi buatan (IB) untuk mempertahankan tingkatan fertilitas yang tinggi adalah dasar dan tujuan setiap program peternakan, kapan dan dimanapun. Makin banyak hewan betina yang kawin berulang (repeat breeders) akan sangat merugikan baik bagi pelaksana inseminasi buatan maupun dan terutama bagi peternak. Walaupun keunggulan genetik pejantan yang ditonjolkan dalam suatu program inseminasi buatan, namun kesediaan peternak menerima pelayanan inseminasi terutama didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Harapan didasarkan dimasa depan dengan peninggian mutu ternak dalam konsiderasi akseptasi pelayanan inseminasi buatan dapat dikecilkan artinya oleh kemungkinan penurunan produksi dalam waktu singkat karena kegagalan reproduksi. Konsepsi yang tertunda dapat menyebabkan kerugian finansial bagi peternak yang mengalami hasil-hasil konsepsi yang rendah dengan pelaksanaan inseminasi buatan pada ternaknya akan cenderung untuk kembali menggunakan perkawinan alam Salah satu pembatasan penentuan efisiensi reproduksi dengan cepat ialah tidak adanya suatu cara penentuan kebuntingan secara mudah dan objektif segera sesudah konsepsi. Setiap ternak sapi, misalnya, memerlukan pemeriksaan yang teliti dan memakan waktu oleh seorang Dokter Hewan untuk menentukan kebuntingan secara rektal. Kemungkinan diagnosa yang tepat hanya dapat terjadi sesudah melewati beberapa minggu dari saat inseminasi dan kemungkinan tersebut meninggi danegan bertambahnya waktu. Suatu diagnosa palpasi rektal yang positif mungkin hanya berlaku pada saat itu karena banyak faktor, terutama penyakit-penyakit yang menyebabkan abortus, dapat menginterupsi jalannya kebuntingan yang normal. Jadi, ukuran terakhir yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat. Akan tetapi, untuk menunggu sampai terjadinya kelahiran akan terlampau lambat dalam penentuan kebijaksanaan selanjutnya dalam pelaksanaan program inseminasi, apalagi bila tidak terjadi kebuntingan. Untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan inseminasi buatan sebagai dasar penentuan kebijaksanaan selanjutnya.

Non-return rate (NR). Salah satu ukuran yang sering dipakai ialah yang disebut non-return rate atau presentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada perminataan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 atau 60 sampai 90 hari. Nilai-nilai ini disebut nilai NR pada 28 sampai 35 hari atau nilai NR pada 60 sampai 90 hari; nilai NR tersebut terakhir umumnya lebih tepat. Jadi nilai NR pada 60 sampai 90 hari adalah perbandingan jumlah sapi - sapi di inseminasi dengan jumlah sapi - sapi tersebut yang kemudian kembali minta diinseminasi (repeat breeder)

Penialaian NR berpegang pada asumsi bahwa sapi-sapi yang tidak kembali minta kawin (non-return) adalah bunting. Asumsi atau anggapan tersebut tidak selalu benar. Selain bunting, sapi-sapi betina yang tidak dilaporkan minta kaawain lagi kemungkinan telah mati, dijual, hilang, atau mengalami birahi tenang (silent heat), memiliki corpus luteum persistens yaitu badan kuning pada kandung telur yang seharusnya menghilang tetapi terus menetap secara abnormal, atau karena gangguan-gangguan lain. Kelalaian atau kemalasan peternak atau penunggu ternak untuk melaporkan adanya birahi pada sapi-sapi betina menyebabkan tingginya nilai NR tanpa keberhasilan inseminasi. Sebaliknya, sapi betina yang kembali minta di inseminasi (repeat breeder) belum tentu tidak bunting, karena kira-kira 3,5% sapi-sapi bunting, terutama yang bunting muda, masih memperlihatkan tanda-tanda birahi. Kemungkinan lain ialah sapi tersebut tadinya bunting tetapi telah terjadi kematian mudigah (mortalitas embrional), keguguran (abortus), pengerasan (mummificatio) foetus, penghancuran (maceratio) foetus dan kelainan-kelainan lain. Berbagai faktor mempengaruhi nilai NR dan kebenarannya. Pertama-tama adalah faktor-faktor yang langsung berhubungan dengan metoda pengukuran, termasuk jumlah sapi yang diinseminasi per contoh semen atau pe pejantan, waktu antara inseminasi sampai penghitungan sapi betina yang kembali minta di inseminasi dan pengaruh-pengaruh biologik yang cenderung untuk mempertinggi jumlah sapi estrus yang tidak bunting. Berikutnya adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesuburan, termasuk umur pejantan dan betina, musim, umur semen, penyakit-penyakit, teknik perlakuan terhadap semen dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut prosentase non-return hanya dapat dinyatakan signifikan dan dapat dipertanggungjawaabkan apabila dihitung dari suatu populasi ternak yang besar. Memang dinegara - negara maju dengan populasi ternak betina yang sangat besar dalam setiap usaha peternakan sapi, disamping mahalnya tenaga Dokter Hewan untuk mendiagnosa kebuntingan sapi-sapi betina tersebut satu per satu secara rektal, penenutan hasil inseminasi semata-mata berdasarkan nilai NR. Kadang-kadang nilai NR dicampur baurkan dengan nilai "conception rate" (CR), yaitu angka kebuntingan nyata yang di diagnosa per rektal. Di Amerika Serikat, kebanyakan nilai NR pada 60 sampai 90 hari mencapai rata-rata 65 - 72% (Roberts, 1971). Nilai NR yang dicapai dalam periode 28-35 kira-kira 10 sampai 15% lebih tinggi daripada NR pada 60 sampai 90 hari. Sebaliknya, angka NR pada 60 sampai 90 hari umumnya adalah 5,5 sampai 6% lebih tinggi daripada angka konsepsi (CR) yang ditentukan dari hasil eksplorasi rektal. Dari satu juta sapi betina, nilai NR dan CR masing-masing adalah 68% dan 60%. Kira-kira 1,5 sampai 2% foetus menghilang antara 90 hari sampai waktu lahir (Barrett et al., 1948; Mc Sparrin & Patrick, 1967).

Angka konsepsi atau Conception Rate (CR). Suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil inseminasi adalah prosentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama, dan disebut conception rate atau angka konsepsi. Angka konsepsi ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh Dokter Hewan dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Angka konsepsi ditentukan oleh 3 faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pada perkawinan normal jarang ditemukan suatu keadaan dimana hewan jantan dan betina mencapai kapasitas kesuburan 100%. Walaupun masing-masing mencapai tingkatan kesuburan 80%, pengaruh kombinasinya menghasilkan angka konsepsi sebesar 64% (80x80).Teknik inseminasi yang baik akan mempertahankan nilai ini, akan tetapi setiap penurunan efisiensi reproduksi merupakan suatu persamaan faktorial dari ketiga variable tersebut diatas (prosentase kesuburan jantan x prosentase kesuburan betina x prosentase efisiensi kerja inseminator). Perhatikan bahwa dalam suatu persamaan faktorial, hasil kali adalah selalu lebih rendah daripada faktor terendah. Jadi, kerendahan efisiensi pada salah satu faktor yang lebih merugikan daripada efisiensi yang cukup pada semua faktor tersebut.

Di negara-negara maju pekerjaan dokter hewan termasuk diagnosa kebuntingan, dilakukan menurut perjanjian antara peternak dan dokter hewan didaerahnya, dan tidak ada hubungan dengan pusat inseminasi buatan. Akan sangat mahal bagi suatu pusat inseminasi buatan untuk membiayai tenaga dokter hewan khusus untuk melakukan diagnosa kebuntingan bagi pusat inseminasi buatan tsb. Di Indonesia, penilaian hasil inseminasi dengan cara ini memungkinkan, karena jumlah hewan yang di inseminasi masih terbatas dan program inseminasi buatan sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruhnya, secara langsung atau tidak langsung dilakukan oleh dan atas biaya atau subsidi pemerintah, pusat dan/atau daerah.

Jumlah Inseminasi per Kebuntingan atau Service per Conception (S/C). untuk membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi di antara individu-individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai ini barulah berarti apabila dipergunakan semen dari pejantan yang berbeda-beda dan apabila betina-betina yang steril turut diperhitungkan dalam membandingkan kesuburan populasi ternak. Oleh karena itu sistem ini kurang populer. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan hewan-hewan betina dalam kelompok tersebut. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai kesuburan kelompok betina tersebut.

Calving Rate. Oleh karena kesukaran-kesukaran dalam penentuan kebuntingan muda dan karena banyaknya kematian-kematian embrional atau abortus maka nilai reproduksi yang mutlak dari seekor betina baru dapat ditentukan setelah kelahiran anaknya yang hidup dan normal kemudian dibuat analisa mengenai inseminasi-inseminasi berturut-turut yang menghasilkan kelahiran dalam satu populasi ternak. Sistem penilaian ini disebut Calving Rate. Jadi Calving Rate adalah prosentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu kali inseminasi (apakah pada inseminasi pertama atau kedua dan seterusnya). Dalam suatu populasi yang besar dar sapi-sapi betina fertil dan diinseminasi dengan semen yang fertil pula, maka calving rate dapat mencapai 62% untuk satu kali inseminasi, bertambah kira-kira 20% dengan dua kali inseminasi dan seterusnya. Besarnya nilai calving rate tergantung pada efisiensi kerja inseminator, kesuburan jantan, kesuburan betina sewaktu inseminasi dan kesanggupan menerima anak di dalam ikandungan sampai waktu lahir. Perry (1960) yang mensiter Herman memberikan suatu contoh panen yang baik dari hasil inseminasi buatan pada Clemson Agricultural coillege, South Carolina, USA, dengan 500 ekor sapi betina. Angka konsepsi didasarkan pada diagnosa kebuntingan secara rektal sesudah inseminasi buatan dan meliputi periode 2 tahun (1955 sampai 1957) sebagai berikut : Dari seluruh sapi betina (660 ekor), pada inseminasi pertama hanya 56% yang menjadi bunting, pada inseminasi kedua 74%, dan pada inseminasi ketiga 81% dari semua sapi menjadi bunting

  1. Rata-rata jumlah inseminasi per konsepsi (S/C) adalah 2,0. Beberapa betina diinseminasikan sampai 4 atau 5 kali, dan lebih sedikit lagi yang di inseminasi sampai 9 kali
  2. Jumlah seluruh sapi yang akhirny menjadi bunting dalam jangka waktu itu adalah 97%
  3. Dua prosen yang tidak bunting dijual karena steril dan satu prosen dijual karena alasan-alasan lain
Hasil - hasil tersebut diatas cukup baik untuk kelompok hewan sebesar itu. Hampir semua peternak cukup puas apabila 85 sampai 95% dari seluruh sapinya bunting dan beranak sesudah tiga kali inseminasi. Adalah tidak bijaksana dan tidak ekonomik untuk menginseminasi sapi lebih dari lima kali. Biasanya, atau sebaiknya pemilik ternak melapor kepada Dokter Hewan setelah tiga kali inseminasi tanpa hasil untuk diselidiki mengapa tidak terjadi kebuntingan dan diusahakan memulihkan kembali kesuburan sapi-sapi betina tersebut.

Pada penelitian yang dilakukan Okuda K Ohtani S. Biei Veterinary Clinical Center, Kamikawa-chuo Agricultural Mutual Aid Association, Hokkaido, Japan yang melakukan pengamatan histological pada endometrium pada kasus Repeat breeder pada sapi. Adapun mendapatkan hasil bahwa Endometrial asynchrony dapat mengakibatkan terjadinya kasus Repeat breeder pada sapi, dengan teknik histological dapat mengevaluasi perubahan analisis endometrium dengan menggunakan 5 ekor sapi FH yang sudah melakukan 3 sampai 5 kali perkawinan dan dengan 5 ekor sapi FH yang normal 1 sampai 8 hari setelah estrus. Pada hari pertama mengeluarkan kelenjar supranuclear vacuolation tetapi kelenjar mitosis tidak diamati dan pada hari 8 didapatkan reaksi stomal mitosis,stromal edema dan pseudodecidual terjadi pengendapan maka akan merusak sistem reproduksi pada sapi. Maka peristiwa Endometrial asynchrony dapat mengakibatkan terjadinya pengulangan perkawinan karena dapat merusak organ-organ reproduksi.

Adapun penyebab terjadinya pengulangan perkawinan menurut Renée Bage, Sudsaijai Petyim, Birgitta Larsson, Triin Hallap, Ann-Sofi Bergqvist, Hans Gustafsson and Heriberto Rodríguez-Martínez yaitu adanya hormon RBH (Repeat-breeder heifer) yang dapat mengakibatkan gangguan reproduksi yang mempengaruhi estrus dan ovulasi serta karena kasus penyakit reproduksi metritis dan endometritis Jadi kerugian peternak dengan adanya kasus pengulangan perkawinan (Repeat breeder) yaitu kerugian ekonomi dengan melakukan inseminasi buatan yang berulang-ulang (tidak ekonomis), terhambatnya proses mendapatkan keturunan (pertambahan populasi ternak terhambat), rusaknya alat reproduksi sapi betina.serta tidak berhasilnya peternak dalam memanajemen dan pengelolaan perkembangbiakan ternak.

Tidak ada komentar: