Karbon Dioksida Paling Ganas Panaskan Bumi

Karbon Dioksida Paling Ganas Panaskan Bumi


Dampak pemanasan global dan perubahan iklim kini jadi isu global pula. Meningkatnya konsetrasi karbondioksida (CO2) pada atmosdfer bumi dituding sebagai penyebab pemanasan global atau global warming dan perubahan iklim atau climate change.
Pemanasan global karena makin bertambahnya intensitas efek rumah kaca yang terjadi akibat pantulan gelombang sinar infra merah dari bumi yang tidak dapat terlepas ke angkasa luar dan terserap gas yang disebut gas rumah kaca (GRK).

Menurut peneliti utama Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Prof. Ir. Y Sardjono APU, CO2 salah satu GRK yang bersifat sebagai perangkap panas. GRK lainnya adalah metana (CH4) dan nitrous oksida (NO2). Tetapi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim adalah CO2. Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tapi berangsur-angsur. Namun dampaknya sudah mulai dirasakan ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850. Konsetrasi salah satu GRK penting, yakni CO2 di atmosfer baru 290 ppmv (part per million by volume). Kini, 150 tahun kemudian, telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang datang konsetrasi CO2 diperkirakan bakal meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat zaman pra-industri. Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun mendatang, suhu rata-rata bumi akan meningkat 4,5OC dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya.

Menurut Prof Sardjono, permasalahan serius yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia sebagai dampak pemanasan global dan perubahan iklim antara lain menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama penyakit tanaman dan manusia dsb. Untuk dapat mengendalikan terjadinya pemanasan global, maka pengelolaan CO2, baik dari sumber dan penyerapannya harus seimbang. Untuk menyeimbangkan CO2 di atmosfer bumi, yang harus diperhatikan faKtor sumber pembangkitan itu sendiri, yaitu “deforestry” atau pembukaan hutan dan pembakaran bahan bakar karbon atau fosil untuk kepentingan industri, baik secara langsung sebagai pembangkit panas atau konversi dalam bentuk listrik dan faktor penyerapannya seperti atmosfer bumi dan biodata laut.
Secara global, CO2 yang dibangkitkan di permukaan bumi tidak seimbang dengan laju penyerapannya. Sehingga terjadi penumpukan CO2 dalam atmosfer bumi lebih 2 miliar ton. Angka ini akan terus bertambah seiring bertambahnya penduduk dunia yang sekarang mencapai 6 miliar dan diperkirakan pada tahun 2050 mencapai 9 miliar.

Laju pertumbuhan penduduk tersebut mempengaruhi aktivitas hidup, berupa penyediaan lahan dan energi untuk peningkatan taraf hidup yang lebih baik dan sejahtera, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi akan memacu permintaan energi secara berkelanjutan. Sebagai contoh, dari data statistika dunia (OECD, 2002), keperluan energi saat ini 9.405 juta ton equivalent minyak dan diproyeksikan meningkat 2 kali lipat pada 50 tahun ke depan. Dari kebutuhan energi 9,405 ton equivalent minyak, ditopang pembakaran minyak, gas dan batubara masing-masing 37,5%, 24,3% dan 25,5%. Sedang lainnya ditopang energi air dan nuklir sebesar 6,3% dan 6,5%. Padahal sumber pembangkitan terbesar CO2 dari pembakaran barubara, diikuti minyak dan gas yakni 975 g CO2/kWh, 742 g CO2/kWh dan 608 g CO2/kWh. Sedang untuk energi air dan nuklir relatif sangat kecil, hanya 11 g CO2/kWh dan 22 g CO2/kWh. Dari sini sudah jelas pembangkitan CO2 terbesar ke atmosfer bumi berasal dari bahan bakar fosil, rata-rata 40 kali lipatnya (4000%) jika dibandingkan dengan energi nuklir untuk setiap pemakaian 1 kW selama 1 jawab,” tegas Prof. Saredjono.

Dari statistical review of world energy, Juni 2003, cadangan sampai akhir 2004 untuk minyak 1,2 triliun barel, gas 180 triliun meter kubik, batubara 901 miliar ton dan uranium 4,6 juta ton.
Dari cadangan yang ada dan tingkat penggunaannya, maka minyak akan habis dalam waktu 41 tahun, gas 67 tahun, batubara 164 tahun dan nuklir (uranium) 85 tahun. Sementara energi nuklir dari uranium dan bahan bakar baru plutonium hasil olah ulang bahan bakar bekas uranium akan mampu menyediakan kebutuhan energi dunia hingga 2.500 sampai 5000 tahun mendatang, ditandai dengan berkembangnya reaktor cepat (FBR) di Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, India, Perancis dan Korea.


Sumber: Kedaulatan Rakyat. Rabu 5 Desember. Sains Teknologi Otomotif. Hal 13.

Tidak ada komentar: