Insiminasi Buatan

Insiminasi Buatan


Sejak dikenalkan pertama kali pada tahun 1976, IB yang sering juga disebut kawin suntik juga telah menghasilkan ternak unggul hasil persilangan dengan ternak lokal maka terjadi perubahan pola pemeliharaan ternak sapi dari jenis lokal ke crossing (silang). Kini IB makin diterima peternak, sehingga dalam mengawinkan sapinya mulai ada ketergantungan terhadap teknologi tersebut.

Namun celakanya, masih sering ditemui kegagalan dalam penerapan IB. Hal itu ditandai dengan adanya gagal bunting. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), 70% penyebab kegagalan sapi bunting akibat deteksi birahi yang dilakukan peternak tidak tepat. Umumnya akibat pengetahuan peternak masih kurang. Sedangkan faktor kegagalan lainnya antara lain dari usia sapi awal kawin (sapi dara), kecukupan gizi sapi betina, kemampuan petugas IB atau inseminator dan kualitas bibit jantan.

Melihat kasus tersebut, pengamatan atau deteksi birahi perlu dikuasai peternak agar IB berhasil. Birahi pada sapi dapat ditandai dengan ciri-ciri antara lain sapi gelisah, warna kemerahan dan terjadi penebalan pada vagina, nafsu makan turun bahkan hilang sama sekali. Serta timbul perilaku menaiki sapi lain dan keluarnya lendir dari alat kelamin (vulva).

Dari tanda-tanda birahi tersebut, pedoman yang paling tepat bagi peternak untuk melaporkan kepada petugas IB bila sapi sudah mengeluarkan lendir yang cukup banyak dari alat kelaminnya. Banyak terjadi kasus, tanpa memperhatikan leleran cairan dari vulva, tapi peternak sudah memanggil inseminator. Bahkan ada yang melapor karena sapinya sudah ‘teriak-teriak’. Padahal tidak semua sapi betina memperlihatkan tanda itu, banyak juga yang diam saja (silent haid).

Dalam teknologi IB, yang paling valid dipakai sebagai dasar laporan ke inseminator adalah keluarnya cairan kental, setelah tanda-tanda lainnya semacam vulva menebal, dan tampak kemerahan. Sedangkan tanda-tanda lainnya hanya sebagai awal birahi. Keluarnya cairan kental dari vulva sering disebut peternak sebagai pela-pelu (standing haid).

Stadium standing haid dipakai inseminator sebagai pedoman untuk menandai dan menghitung kapan sel telur turun dari indung telur. Fase ini menjadi dasar hitungan turunnya telur, atau terjadi sekira 10 jam kemudian dari stadium ini. Maka, inseminator selalu bertanya kepada pemilik sapi, kapan pela-pelu keluar.

Usai memperoleh inseminasi, peternak masih harus tetap melakukan pengamatan pada sapi betina. Siapa tahu pela-pelu yang umumnya hanya keluar selama satu hari, tapi karena kesuburannya bisa lebih dari satu hari. Dalam kasus ini, peternak harus melapor kembali ke inseminator agar melakukan IB ulang. Pedoman yang dipakai untuk mengawinkan sapi ada pada pela-pelu yang terlihat pada hari terakhir. Jika masih terlihat pela-pelu di hari kedua, sebaiknya dilakukan IB ulang. Tanpa mengulang IB, kemungkinan bunting kecil sekali. Hal ini perlu dipaparkan agar tidak ada lagi anggapan setelah disuntik pasti bunting, sehingga mengabaikan pengamatan kemungkinan masih adanya tanda birahi hari berikutnya.

Salah satu keuntungan IB, khususnya pada sapi, dapat mencegah penularan penyakit kelamin. Misalnya brucellosis yang dapat menyebabkan sapi betina mandul dan bersifat zoonosis. Penyakit semacam itu dapat dihindari karena sperma yang disuntikkan dengan insemining gun (pistol inseminasi) benar-benar berasal dari pejantan unggul.

Selain itu, IB juga mengatasi kelemahan kawin alamiah. IB dapat dilakukan kapan pun, asalkan kondisi sapi betina sedang subur. Teknologi ini juga sangat efisien dan hemat transportasi, karena tidak perlu membawa pejantan ke suatu tempat. Jadi cukup membawa spermanya yang disimpan di dalam straw ke peternakan.

Standar sperma sapi yang layak digunakan untuk keperluan IB sebelum disimpan di dalam straw, harus memiliki konsentrasi 700 juta spermatozoa. Jika konsentrasi berada di bawah angka tersebut biasanya dibuang, karena diyakini secara ilmiah tidak dapat membuahi.
Setelah sperma sapi dimasukkan ke dalam straw, konsentrasinya menjadi 25 juta spermatozoa (1 straw berisi 0,25 ml). Selanjutnya sperma dalam straw dibekukan di tabung N2 cair ber suhu minus 196 OCelsius. Selama berada di dalamnya, sperma tersebut akan awet selama bertahun-tahun, hingga 10 tahun.

Tidak ada komentar: